Rabu, 12 Oktober 2011

Kesenjangan Sosial Pesantreb Vs Budaya Lokal


Suatu keadaan yang bukan saja khayalan, jika pesantren dapat bersenggama dengan budaya lokal. Biar bagaimanapun, pesantren ada karena masyarakat sekitar yang pastinya punya budaya yang telah tumbuh-kembang bersama mereka. Adanya pesantren bukanlah untuk memporakporandakan budaya yang telah melekat pada diri mereka, akantetapi untuk menjaga dan menjaga budaya yang telah ada.
Sangat ironis sekali bila antitesalah yang terjadi. Pesantren yang lahir dari rahim budaya lokal seharusnya bisa mengawininya, malah menjaga jarak, mencurigainya bahkan menolaknya dengan keras. Entah karena alasan apa, fakta membuktikan tidak sedikit pesantren yang melarang keras santrinya untuk melihat pentas budaya apalagi memelajarinya. Memang acara-acara tertentu dalam tradisi pesantren, acapkali d\iselingi hiburan-hiburan yang merupakan kreasi dari santri, akan tetapi kreasi yang ditampilkan hanyalah kabaret yang berbeda jauh dengan model drama khas masyarakat lokal. Terkadang juga dipentaskan seni musik, akan tetapi tidak beda jauh dengan kreasi drama yang disebut di atas. Seni musik yang dipentaskan tidaklah mewakili aspirasi masyarakat sekitar. Musik yang biasanya dipentaskan yaitu jenis musik gambus, japin dan sejenianya. Pokoknya yang berbau arab.
Pesantren rata-rata enggan untuk mengundang apalagi mementaskan budaya lokal dalam acaranya. Akhirussanah, khataman dan haul, merupakan momen yang biasanya dimanfaatkan untuk menggelar pengajian dan alangkah baiknya, seandainya diselingi hiburan hiburan berupa pentas budaya lokal sekaligus mengenalkannya pada para santri. Akan tetapi fakta di lapangan lebih memprihatinkan lagi. Pesantren lebih suka mengundang para pejabat dan politisi nasional yang tidak menutup kemungkinan mempunyai tujuan politik (baca: safari politik). Perilaku pesantren mengundang pejabat dan politisi nasional sama sekali tidak mendidik dan sama sekali tidak membawa kemaslahatan masyarakat sekitarnya, kecuali hanya untuk memenuhi kepentingan elit-elit tertentu.
Satu lagi yang bisa memporakporandakan budaya lokal dalam pesantren: yaitu arabisme pesantren. Dalam mempelajari suatu ilmu, tidak sedikitpun pesantren yang hanya membuka sebelah mata. Usaha yang dilakukan pesantren hanya sebatas teks tanpa melirik masyarakat di sekitar mereka yang pastinya berbeda konteks dengan masyarakat yang dihadapi para mushonif. Akibatnya terjadi perbedaan yang jauh antara santri dan masyarakat. Lebih parahnya lagi, kadang ada pesantren yang melarang santrinya untuk bersosialisasi dengan masyarakat luar, yaitu dengan jalan melarang santri untuk membeli barang dari luar pesantren. Santripun tidak tahu gejala yang terjadi di masyarakat, akhirnya santri tidak siap untuk menghadapi
Pada akhirnya akan kehilangan jatidiri pesantren. Dan hilanglah relasi masyarakat.
Entah sampai kapan fenomena tersebut akan berlangsung. Akankah selamanya budaya lokal menjadi musuh pesantren. Apakah seharusnya pesantren mengembangkan budaya arab dan menghilangkan budaya sendiri?
Jika demikian, apakah yang akan terjadi dengan pesantren. Mau dibawa ke mana pesantren?

Sumber: http://muhamadmuiz.wordpress.com/2009/03/03/kesenjangan-sosial-pesantren-dengan-budaya-lokal/

0 komentar:

Posting Komentar

Terima Kasih Telah menyempatkan diri mengunjungi Blog sederhana ini. Tinggalkan Komentar Anda Di Sini.